Ketika Wawancara Indro Warkop


Tahun 2007, otak saya berpikir  mencari cerita panjang untuk majalah ARTi. Keingat masa-masa dulu, hampir setiap nonton layar tancap pasti ada film Dono, Kasino, Indro alias DKI Warkop. Dan film mereka selalu dan  selalu saja ada hingga saat ini. Dan selalu saja tetap membawa orang tertawa. “Legend,” pikirku.

Tidak mudah mendapatkan stori mereka saat itu. Hanya ada cerita soal film-film, tentang kematian Dono dan Kasino, juga berdirinya grup itu. Tapi tak ada cerita lengkapnya. Tidak ada dialog kelucuan pertemanan tiga orang itu.

Yang tersisa hanya Indro. Di film dia memang sosok yang bikin orang tertawa dengan sesekali  logat Batak dan Jawa. Tapi Saya membayangkan dia seorang  yang berbadan besar, gahar, dan tegas. Maklum, dia kerap muncul dengan motor gedenya alias moge Harley Davidson.

Saya menghubungi Rudi Badil. Dia salah satu orang pertama yang terlibat di grup Warkop DKI untuk menemuinya. Dia sedang tidak ada di Jakarta. Badil sedang persiapan naik gunung. Hobi yang dilakoni sejak menjadi mahasiswa di Universitas Indonesia. “Hubungi Indro, nanti saya SMS kontaknya,” ujar Badil.

Rudy Badil dilahirkan di Jakarta, 29 November 1945. DIa meninggal  usia 73 tahun, persisnya pada Kamis, 11 Juli 2019 pukul 07.13 WIB akibat Stroke yang menderanya. Dia dimakamkan  di Tanah Kusir.

Badil memberikan kontak. Saya menghubungi salah satu asisten Indro. Dua hari kemudian, saya diberikan jadwal pertemuan malam di rumah Indro di Kawasan Jakarta Timur. Dalam pesan itu, mengingatkan datang tepat waktu dan jangan terlalu lama,  Indro perlu istirahat karena pemulihan jantungnya. “Maksimal 1 jam,” tulis pesan itu. Saya mengiyakan.

Malam yang dijadwal, saya sambangi rumah Indro. Istrinya, Nita Octobijanthy yang menerima saya. Dia meminta saya menunggu di ruang tamu. Dia juga mengingatkan kembali, saat wawancara jangan lebih dari 1 jam. “Mas Indro harus istirahat jam 9an (21.00 WIB),” ujarnya. Saya memastikan tepat waktu berhenti wawancara.

Sambil menunggu, saya mulai mencatat sekitar rumah Indro. Dari moge yang terparkir, pajangan rumahn, denah halaman rumah, denah ruang tamu, bahkan saya juga intip apa saja yang ada di bawah mejanya. Bahkan jenis tanamannya saya catat juga. Saya menebak-nebak luas ruangan tamunya.

Dari sekitar rumah Indro saja, saya memulai dasar tulisan panjang itu. Dua alinea tulisan sudah saya dapatkan. Mengapa perlu, karena disitulah kekuatan tulisan secara utuh. Saya ingin membawa pembaca untuk tahu, apa yang ada di sekitar hidup Indro. Tidak mesti kehidupan pribadinya, tapi juga lingkungannya.

Rada tegang berhadapan dengannya di ruangan tamu. Indro muncul. Dia menyuruh saya duduk. Bayangan saya benar, Indro sosok yang berbadan besar. Dia terlihat tegas. Tapi saya hadapi dengan santai.

Saya tanyakan dulu kondisi kesehatannya, saya ingatkan ada waktu 1 jam untuk bercerita tentang Warkop DKI, dan saya juga menyampaikan maaf jika ada pertanyaan yang harus mengingat masa lalu. Saya perlu lakukan itu, karena itu adalah bagian dari keetisan jurnalis terhadap kondisi psikologi narasumber.

“Mas (Indro), malam ini saya tidak sedang wawancara secara formal. Saya lebih senang dengan Bahasa ngobrol. Jadi ada cerita-cerita lepas,” ujar Saya. Indro setuju. Dia juga tidak mau wawancara ini jadi kaku ceritanya.

Dari jam 8 malam. Indro banyak cerita tentang asal muasal Warkop DKI. Pertanyaan yang saya ajukan kebanyakan dialog. Misalnya obrolan antara Indro dengan Dono dan Indro dengan Kasino. Bahkan saya juga memancing dialog emosi antar ketiganya saat suting filmnya, dan lainnya.

“Pokoknya udah kayak orang gila. Serius dan banyakan ketawanya. Tapi malah yang adegan dadakan itu, yang bikin lucu,” ujar Indro.

Dari obrolan itu, Sisa 10 menit, dari 1 jam wawancara yang disepakati. “Mas, sisa 10 menit lagi. Nanti saya hentikan obrolan ini,” ujar Saya, Indro mengiyakan. Dan saya malah lebih banyak tertawa membayangkan cerita-cerita. Indro malah semakin seru cerita lucu tentang teman-temannya yang sudah lebih dulu meninggal.

 Persis Jam 9 malam, saya bersiap-siap hentikan obrolan. “Maaf mas, kesepakatan ngobrol sampai jam 9,” ujar saya. Ini saya lakukan, jurnalis harus berpegang pada kesepakatan narasumber. Dan saya juga berpikir tentang kesehatan Indro.

“Alah…terus aja. Ini ada cerita-cerita lebih lucu yang mesti kamu tahu,” ujar Indro. Saya melihat di ruang sebelah, Istrinya mengasih kode agar selesai.

“Ini sudah malam mas. Kesepakatan sejam dan saya kira mas Indro harus istirahat,” tutur saya.

“Nggak papa,” ujar Indro. “Setengah jam lagi deh,” katanya lagi.

Saya mengiyakan dan mengingatkan setengah jam saya hentikan obrolan. “Oke,” ujar Indro.

Ternyata benar. Cerita semakin seru. Saya jabani dengan memancing cerita-cerita dialog. Layaknya seorang kawan sambil ngopi, Indro cerita begitu lepas. Sesekali dia rada sedih mengingat rekannya, Dono dan Kasino. Apalagi mengingat kehidupan keluarga yang ditinggalkannya.

Di sela cerita-cerita seru, saya cek jam. Sudah setengah jam dari kesepakatan kedua. Apalagi saya melihat kembali istrinya dari ruang sebelah minta saya hentikan. “Mas, sudah setengah jam kesepakatan,” ujar saya kepada Indro.

“Sebentar lagi lah, lagi enak kita ngobrol nih. Nanti rugi tulisanmu kalau tidak lengkap,” ujar Indro.

Saya bingung bagaimana cara menghentikan obrolan ini. Sementara saya harus tetap menjalankan kesepakatan. “Tambah kopinya ya,” ujar Indro. Saya menolaknya.

Akhirnya obrolan berlanjut. Bahkan cerita-cerita seru terus diumbar Indro. Sambil mendengarkan cerita Indro, saya kerap melihat istrinya wira-wiri.

“Saya malah semakin sehat kalau ngobrol kayak gini. Dan sama kamu kayaknya nyambung. Kamu pintar mancing saya cerita. Nggak pernah saya cerita kayak gini panjangnya,” ujar Indro.

Beberapa kali saya ingatkan waktu, Indro tetap menolak dihentikan. Dia mau cerita lainnya tentang para sahabatnya itu. Pukul setengah sebelas malam, saya ingatkan kembali. Saya melihat Indro menghela nafasnya sambil tertawa dan mengusap matanya. “Sedih, mas,” tanya saya.

“Kok gue jadi sedih sih. Saya teringat Dono dan Kasino saja,” ujar Indro.

“Oke mas Rusman. Ngga terasa kalau kita ngobrol kayak gini,” ujar Indro lagi.

Saya pamit. Indro dan saya berdiri dari ruang tamu. Sambil berjalan keluar rumah, Indro terus saja bercerita tentang Warkop DKI. Tapi saya alihkan pertanyaan tentang hobi mogenya, dan jenis mogenya, serta berapa belinya.

Indro menjawab serius kali ini. Persis depan rumahnya, Indro kelihatannya masih ingin ngobrol. Bahkan posisi saya di atas motor, Indro masih bercerita tentang rencana-rencananya bikin film. “Mas Rusman catat tuh. Saya rencana mau hidupkan kembali film-film Warkop DKI versi anak-anaknya,” ujarnya.

“Keren mas. Tetap Lejen buat Warkop sampai kapanpun,” ujar saya.

Saya pamit hampir pukul 11 malam. Tertawalah Sebelum Tertawa itu Dilarang.Hasil obrolan dengan Indro Warkop saya ada di link ini. Tertawalah Sebelum Mereka Bubar

Reactions

Posting Komentar

0 Komentar

Close Menu