Dari Lorong Rumah Sakit

Rabu pagi, 3 Januari 2007. Cuaca Jakarta tak biasanya panas. Tapi di Rumah Sakit Cipto Mangunkusomo (RSCM) perawatan Irna B lantai III kiri bagian Telinga Hidung dan Tenggorokan (THT), keluarga Soleh berduka. Soleh meninggal dunia. Semalaman, ia terus menerus mengeluarkan darah dari mulutnya.


Oleh pihak rumah sakit, langsung dilarikan ke bagian Instalasi Gawat Darurat (IGD) yang berjarak sekitar 150 meter. Pukul 09.45 menit, Soleh menghembuskan nafas terakhirnya. Mayatnya diangkut oleh ambulan rumah sakit, untuk dimakamkan di tempat tinggalnya.

Malam sebelum kematiannya. Saya dan beberapa keluarga pasien di ruang perawatan itu, berbincang-bincang lepas tentang layanan rumah sakit. Ibu Soleh, juga terlibat bicara. Abiden ayah dari Fourman Stefen, bocah yang dirawat seruangan Soleh, sempat nyeletuk disela obrolan itu.

“Kalau seperti ini pelayanan rumah sakit, sudah pasti semua pasien tinggal menunggu mati saja,” tuturnya.

“Kita ini memang golongan pengobatan orang miskin. Tapi, kita juga kan pembayar pajak. Saya yakin, masyarakat yang menggunakan fasilitas tidak mampu, hanya menunggu mati,” tegas Abiden dengan geram.

“Iya. Kemarin Soleh muntah darah lagi. Malah dimarahin sama perawatnya. Bukannya diberikan pengobatan cepat,” tambah komentar ibu Soleh berlogat Jawa Tegal.

Ruang bekas Soleh sudah kosong. Tak ada ranjang lagi. Disebelahnya, terbujur lemas seorang lelaki tua dengan selang infus ditangannya. Sebelum kematiannya, sudah dua hari, Soleh sering mengeluarkan darah di malam hari. Ada tumor dibagian lehernya. Di bekas ranjangnya, tak ada tanda-tanda disterilkan oleh pihak rumah sakit.

Matinya Soleh, membuat gelisah Abiden. Posisi tempat tidurnya anaknya, hanya dua petak ranjang ke belakang dari tempat perawatan Soleh. Anaknya yang masih berusia dua tahun lima bulan dengan diagnosa tumor ganas dibagian lehernya, harus dirawat satu ruangan dengan pasien dewasa. “Saya khawatir menular,” tuturnya.

Itulah keluh kesah, Abiden dan Ibu Soleh kepada saya soal pelayanan RSCM. “Sudah terlambat. Kalau sudah ada yang meninggal, baru sibuk. Tapi, perawat tenang saja,” ujar Abiden.

Di gedung Irna B, sebagian besar adalah pasien dari golongan tak mampu. Atau pemilik Surat Keterangan Tak Mampu (SKTM), keluarga miskin (Gakin) dan Asuransi Kesehatan Miskin (askeskin).

RSCM di era penjajahan Belanda bernama Centraal Ziekenhuis (rumah sakit pusat). Oleh pemerintahan kolonial ini dijadikan sebagai pusat pelayanan medis masyarakat miskin pribumi. Tahun 1946 oleh Satryo, menteri kesehatan era presiden Soekarno diresmikan dan berganti namanya menjadi Rumah Sakit Cipto Mangunkusomo (RSCM).

Cipto Mangunkusomo adalah seorang dokter Indonesia yang dianugerahi sebagai pahlawan nasional pada tahun 1964. Sosok yang dilahirkan tahun 1886 dan meninggal tahun 1943 ini, sebagai seorang yang punya keperdulian terhadap kondisi kesehatan masyarakat.

Beberapa hari, saya menelurusi hampir setiap lorong rumah sakit yang terletak di Kawasan Salemba itu. Beberapa pemandangan ironis dari system pelayanan. Dari kerumunan ratusan warga memperoleh obat gratis karena menyandang status sebagai warga miskin. Sampai adanya pasien terlantar yang terkapar di lorong instalasi gawat darurat (IGD).

“Bisa berjam-jam kalau peroleh obat Gakin. Pagi dimasuki, sore atau malam, baru bisa dapat. Udeh lama menunggu, ternyata obat kosong,” tutur Hamdani kepada saya.

Ada tiga rangkap surat gakin yang harus diserahkan kepada petugas. Apotik itu terletak dilantai satu yang tak jauh dari poliklinik RSCM. Bagian depan kanan khusus untuk pasien Askeskin dan bagian kanan ujung khusus pasien gakin dan SKTM.

Setelah menyerahkan berkas pengambil obat, pasien harus menunggu lagi untuk mendapatkan persetujuan dari pihak RSCM. Sehingga dapat mengetahui, apakah harus membayar secara penuh atau membayar 50 persen dari harga obat. Atau juga mengambil diapotik lain yang menjadi rujukan dari RSCM.

Tidak hanya itu saja. Ditemukan juga adanya pasien anak-anak yang digabung dengan pasien dewasa. Bahkan dalam satu ruangan dengan puluhan pasien, hanya ada sarana dua kamar mandi dan satu toilet. Sehingga, beberapa pasien harus antri serta dengan terpaksa menampung kotorannya sendiri ke dalam wadah plastik atau tempat lain.

Jangan berharap mendapat pelayanan pemeriksaan dari dokter ahli atau perawat. Kunjungan dokter juga tidak menentu. Pasien ditangani oleh ‘koas’ atau mahasiswa kedokteran yang masih bergelar sarjana kedokteran (s.ked). Sedangkan setiap ruangan hanya diawasi dua perawat untuk puluhan pasien.

“Sudah antre obat, ditambah dokter ahli datang semaunya. Apa ada jaminan, kalau kondisi itu nyawa bisa tertolong,” kata Abiden, tegas. Nyawa Soleh pun tak tertolong.

Reactions

Posting Komentar

0 Komentar

Close Menu