Menolak Lupa: Lembaran Uang untuk Budiman

Awal pekan ini, seorang kawan mengajak saya ngopi di salah kafe di sekitar Tebet, Jakarta Selatan. Masuk di dalam, saya diperkenalkan kepada sosok pria berkacamata yang sudah sekian puluh tahun tidak pernah melihat langsung. Dia duduk bersama dengan dua orang rekannya.
 
Adalah Budiman Sudjatmiko. Era orde baru sama-sama menjadi aktifis mahasiswa di Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID) yang kemudian menjadi Partai Rakyat Demokratik (PRD). Dia di Jakarta, saya di Makassar, Sulawesi Selatan.
 
"Bud, kenalkan ini Rusman. Sekarang dia Pemrednya jurnas.com. Dari Makassar," ujar rekan saya kepada Budiman. 
 
"Oh iya, yang dulu jurnas SBY ya. Sekarang udah jadi online," kata Budiman. 
 
"Sekarang udah beda. Sekarang udah mereka yang pegang," ujar rekanku menjelaskan. "Sekarang dia yang pegang." ujarnya lagi. 
 
Budiman menyebutkan nama-nama aktifis mahasiswa dulu asal Makassar. Tidak ada satu pun nama saya disebutkan. "Dia lupa nih,: ujar saya dalam hati.
 
Saya membuka masker supaya lebih jelas muka. "Bud, beneran lupa saya yang dari Makassar? tanya saya. Dari mukanya, dia memang tidak kenal atau sudah lupa. 
 
Aku akhirnya menjelaskan. "Aku Rusman. Dulu yang ngawal Anda saat serangan kantor PDI. Waktu kasus 27 juli," ujar saya.
 
Temannya Budiman yang di sebelahnya nyeletuk. Bukannya yang ngawal kawan dari Medan. "Kemal," sebut nama seorang aktifis dari Medan itu.
 
"Ya aku berdua sama dia (Kemal). Dari kantor LBH, kita ke rumah Mega, ke rumah Wilson, terus ke rumahmu (Budiman) di Bogor," ujar saya. Budiman tetap kelihatan abai dengan jelasan itu.
 
Saya ingatkan lagi Budiman. "Kita nginap di tempatmu. Besoknya baru balik Jakarta ke rumah di dekat kampus Lenteng Agung (IISIP. Kemudian pisah," ujar saya. Budiman masih tidak ingat. Dia hanya ingat, terakhir di Kampus itu. 
 
Sebenarnya banyak hal yang mesti saya ingatkan kepada Budiman agar dia tidak tunduk lupa dengan storinya dia. Tapi rekan saya terlihat mengalihkan dan berkesan tidak perlu ketemuan ini jadi bahan pengungkapan.
 
Dalam hati, sebetulnya itulah kesempatan saya untuk meluapkan histori yang Budiman abaikan. Dari buku yang pernah dibuat Budiman saja, dia sudah menghapus sejarahnya sendiri. 
 
"Nah, kesempatan nih buka-buka ingatan dia," ujar saya dalam hati.
 
Padahal ketika Jakarta terbakar usai penyerbuan kantor PDIP di Jakarta, saya sendiri yang menemani dia hingga ke rumah saudaranya di sekitaran Rawasari Jakarta Pusat. Dari situ, barulah kembali ke YLBHI dan dari situlah mulai bergabung Kemal dari Medan untuk mengawal Budiman.
 
Malam setiba di rumah Megawati di Kebagusan, saya ikut masuk. Di tempat itu, para kader PDI banyak yang terluka. Ada yang perban kepala, tangan, hingga kaki. 
 
Ketika pulang, tokoh PDI Mbah Tardjo alias Sutardjo (alm) memanggil saya ke salah satu ruangan. Saya masih ingat betul ucapannya. "Titip buat Budiman dari Pak Taufik (Kiemas) untuk kacamatanya yang pecah," ujarnya. Ternyata uang.
 
Saya cepatkan langkah, karena Budiman sudah jalan duluan menuju gerbang keluar. Uang saya serahkan kepada Budiman. Budiman membuka lembaran uang itu, jumlahnya 100 ribu.
 
Persoalan di atas ternyata sempat jadi perbincangan kalangan aktifis SMID. Terakhir saya benar-benar lepas diri dari dunia gerakan tahun 2000. Tidak pernah lagi ada komunikasi dengan rekan-rekan Jakarta dan lainnya. 
 
Dengan rekan-rekan SMID Jakarta dan pengurus pusat SMID, intens saya lakukan tahun 1996. Soal kuliah di Universitas Hasanuddin, saya abaikan. Saat itu, Soeharto jatuh adalah harga mati. Kuliah tidak penting. Toh....usai kuliah dan gelar sarjana selama masih ada Soeharto, tidak ada gunanya.
 
Tahun 2008 (kalau tidak salah) seorang rekan sekantor menginformasi ada reuni SMID di Jakarta. Saya dipaksanya ikut. Di salah satu hotel mewah di Sari Pacifik. 
 
"Bung, aku sebenarnya malas untuk ketemu dengan kawan-kawan gerakan dulu. Ya udahlah, kita cuma liat-liat aja ya. mudah-mudahan ngga ada yang kenal lagi," ujar aku kepada Nuswantoro. 
 
Malam setiba di Hotel itu, suasana ramai. Saya berdiri di pintu dan hanya melihat satu persatu wajah rekan-rekan lama. Walau kenal, saya tidak akan menyapa. Saya melihat Budiman. Saat itu, ingin datangin dia dan cuma mau bilang buku yang dibuatnya lupa sama sejarah. Aku urungkan. Malas. 
 
Tiba-tiba saat saya masih di pintu ruangan hotel, seorang pria kurus yang aku ingat bernama Dwi Hartanto mendekat. "Lue rusman dari Makassar kan? ujar dia dengan nada rada bentak. Saya kaget. Dwi mahasiswa IISIP. Dia aktifis SMID Jabotabek.
 
"Wah, elu kemana aja nggak keliatan. Dicari Budiman tuh. Lue mesti ceritakan semua. Lue tuh saksinya Budiman. Beneran ya, ada uang masuk ke kaos kaki," ujar Dwi.
 
"Semua udah pada tahu. Nah kan sekarang ada elu, lue ceritain dong," ujar Dwi lagi.
 
Ucapan Dwi ini jelas bikin kaget saya. Karena tidak ada yang pernah tahu dan tidak ada yang pernah saya ceritakan tentang itu. "Ah, udahlah coy. " ujar saya. 
 
"Jangan gitu bung. Lue benar-benar kayak disingkirkan gitu. Kita semua tahu kok. Makanya, nanti elu gue daulat ungkap kesaksian. Abis ini pada mau ngebir di Jalan Jaksa," ujar Dwi. 
 
Dwi geret saya ke dalam. Setiap ada kawan Jabotabek, saya kayak dikenalkan kembali. "Coy, nih Rusman nih, yang dari Makassar. Ngilang muncul lagi," ujar Dwi di sela-sela beberapa orang yang berkumpul. "Wah...kirain lue "Ngilang" juga coy," ujar salah satu dari mereka. 
 
Ada beberapa yang saya kenal juga tapi lupa nama. Mereka kaget. Dan ngoyok-ngoyok untuk buka kesaksian ngawal Budiman.
"Sudahlah coy...itu jadi nostalgia gue aje. Kalau lue pada tahu, ya udah," jawab aku. 
 
"Tapi benarkan uang di kaos kaki," celetuk Dwi. "Kalau soal kaos kaki aku ngga tahu," ujar aku sambil ketawa. "Kalau soal uang, benar." 
 
"Beneran kan lue yang ngawal Budiman sampai rumahnya terus balik Jakarta? karena nama lue ilang di bukunya," ujar Dwi. Aku mengiyakan. 
 
Dari Hotel itu, aku dipaksa mesti ikut ke jalan Jaksa. Di sana sudah ada yang datang duluan. Botol-botol bir bersusun di atas meja. Di situ, saya tidak tahu siapa yang teriak. "Bud, (Budiman, red) nih ada Rusman Makassar, lue lupa sama dia." Budiman cuma bilang, "Gue ingat...ingat." 
 
Tapi saya tetap menolak mengumbar cerita pengawalan itu, dan soal kacamata. Bagi saya, toh kalau Budiman "lupa" tapi kawan yang lain tidak lupa, itu sudah cukup. Dunia stori ini akan saya rangkai dalam satu bab buku sendiri. 
 
Padahal mengawal sosok Budiman saat itu, bertaruh nyawa, disiksa atau mati tak bertuan. 
 
Malam sudah larut. Saya kembali pulang dari Jaksa. Berbagai ketemuan terus dilakukan. Hingga saat ini, keluarga besar SMID dan PRD berkumpul kembali di grup Whatsapp. Dari cerita dulu, hingga kritis pedas pemerintahan sekarang.

 
Tak akan tumbang rezim Soeharto, jika tidak kami yang mulai. Tak ada gerakan 98, jika bukan kami yang menjadi tumbalnya. Tunduk dan berdoa untuk kawan-kawan kami yang hingga saat ini hilang tak jelas tubuhnya. Semoga kalian damai dan tenang,
Reactions

Posting Komentar

0 Komentar

Close Menu