Sebelum pesawat itu terbang dari Bandara Soekarno Hatta,
Jakarta sudah membayangkan satu negara yang sudah puluhan tahun ingin sekali
saya datangi. Negara besar yang terkenal dengan keragaman seni dan budaya, aliran
politik yang disegani dunia, bahkan negara yang begitu hormat para leluhurnya,
adalah China.
Pagi di awal November 2011.
Bandara Internasional Beijing, China, tidak begitu riuh dari orang
berdatangan
ke negara itu. Hampir semua petugas bandara, perawakan wajah tak sangar dengan
tubuhnya yang kecil. Tapi mereka terlihat wibawa dan tegas.
apalagi terhadap orang asing. Tak
sungkan-sungkan mereka membuang isi tas, walau hanya sekedar makanan atau air
mineral.
Di beranda bandara, saya bersama rombongan dari Kementerian
Pemuda dan Olahraga (Kemenpora), serta
wartawan, menanti seorang pemandu.
Dari situ udara terasa dingin, karena gerimis mengguyur Kota Beijing sejak
pagi. Seorang wanita menghampiri kami, “Panggil
saya Vivian, yang akan memandu kalian,” ujarnya.
Vivian kelahiran China. Tubuhnya kurus dan tidak
tinggi-tinggi banget. Dia dulu pernah belajar bahasa Indonesia di Jakarta
selama lima bulan. Kembali ke China dan bekerja pada perusahaan pemandu turis.
Untuk urusan turis asal Indonesia, Vivian yang kerap ditugasi. Walau bahasa
Indonesianya masih terbata-bata, namun tidak sedikit orang pernah ia kawal
mengelilingi China.
“Beijing sedang musim semi, ha. Tapi cuaca dingin. Kita akan putar-putar. Kalo dingin pake
jaket, ha. Salju bulan depan baru
turun,” ujar Vivian, yang memandu dari bangku bis deretan depan.
“Suhu udara di musim semi bisa mencapai 8 derajat celcius.
Kali ini belum dingin, masih 18 derajat celcius,” ujar Vivian lagi. Bahasa
Indonesianya bikin kami tersenyum, karena terdengar paduan logat melayu
diselingi China.
Dari dalam bis, saya menikmati suasana Kota Beijing. Saya
membayangkan menemukan kepadatan penduduk. Ternyata, negeri itu begitu banyak
lahan kosong. Taman-taman dengan pohon hijau. Hanya kendaraan mobil yang
melintas. Tak banyak motor di setiap sudut kota. Bersepeda, hampir sering
terlihat digunakan oleh masyarakat setempat.
“Kalau Anda lihat mobil keluaran Eropa, maka itu berarti
orang kayanya China. Di sini, pajak mobil tinggi. Kecuali mobil buatan negara
sendiri. Pajaknya murah. Uang pajak tinggi itu, untuk membiayai hidup orang
miskin. Ini negara komunis, ketat bila ada barang asing dijual di China,” ujar
Vivian.
China memang dikenal sebagai negara komunis yang masih
bertahan hingga saat ini. Negara itu, memang sangat ketat bagi barang buatan
asing. Jangankan kendaraan, produk telepon seluler pun, begitu ketat
pengawasannya. Di Indonesia, Blackberry begitu merajai pasar. Di China, bisa
hitungan tangan orang menggenggam seluler itu. Jika ada, Blackberry hanya
berfungsi sebagai telepon biasa. Tidak dapat digunakan untuk Blackberry
messenger alias BBM yang selama ini dikenal masyarakat Indonesia.
Beijing. Dalam ingatan saya hanya ada tiga tempat yang
harus atau kudu didatangi. Forbidden City, Tiannanmen, dan Great Wall. Ketiganya
memunyai daya pikat yang luar biasa bagi China dan masyarakat dunia lainnya.
Bahkan menjadi icon penting perjalanan negeri berlambang satu bintang besar
yang dikeliling empat bintang kecil dengan warna dasar merah ini.
Forbidden City
atau dikenal sebagai kota terlarang dan Tiannanmen, menjadi satu tempat sejarah
yang tidak bisa dipisahkah. Keduanya berada di jantung Kota Beijing. Dan
keduanya saling berhadapan. Hanya dipisahkan jalan kota.
Pagi sekali saya
di dua tempat terkenal itu. Hujan gerimis, kabut begitu tebal. Suhu udara
dingin mencapai 10 derajat celcius. Ribuan orang sudah mulai berdiri berjajal.
Bahkan, lautan manusia tak kunjung berhenti. Hitungan menit, lapangan Tiananmen
benar-benar dijubeli para pengunjung.
Inilah
lapangan saksi sejarah China yang dikenal peristiwa Tiananmen 1989. Di sini,
ribuan demonstran tewas. Aksi mahasiswa ini terjadi karena protes
ketidakstabilan ekonomi dan korupsi politik. Apalagi, matinya Hu Yaobang,
sekretaris jenderal partai Komunis yang
mengundurkan diri. Karena ia orang berpikiran liberal yang dipaksa mundur oleh
kepemimpinan Deng Xiaoping.
Sehingga, dianggap sebagai sebuah perlakuan yang tidak adil.
Konon dapat satu juta orang di dalamnya dan
masuk buku rekor dunia sebagai the world biggest public square”. Bendera China
secara resmi dinaikkan dan diturunkan setiap harinya di lapangan ini. Masih
ingat peristiwa Tiananmen tahun 1989.
Yang membuat
tempat itu menjadi sesak oleh pengunjung, adanya makam Mao Zedong yang
diawetkan. Masyarakat setempat sangat besar penghormatannya. Mereka begitu
menghargai jasad sosok perubahan China itu.
Mao Zedong.
Sosok yang paling terkenal dan dikagumi di China. Pada 1 Oktober 1949, Mao memproklamirkan
Republik Rakyat China dan mendirikan negara komunis. Yang sebelumnya, China
dikenal sebagai negara yang tunduk pada dinasti. Tak aneh, ratusan meter
antrian begitu mengular, hanya sekedar melihat wajah mati Mao Zedong dalam sekian detik saja.
“Kalau
Indonesia, tidak mungkin menghargai pahlawannya seperti ini. Soekarno yang
dibanggakan, akhirnya dijadikan bagian politik saja. Padahal Soekarno layak
mendapat penghormatan,” ujar Hery Santoso, jurnalis televisi swasta Indonesia
yang ikut dalam rombongan kami.
Saya berdiri
persis di dekat tugu Tiananmen. Dingin kian menyengat. Polisi berjaga-jaga di
sekitar lapangan itu. Para pemandu sibuk menjelaskan kepada turis bawaannya.
Agar turis mengenali rombongan, masing-masing pemandu membawa bendera sendiri
sebagai penanda.
Di sebelah
utara, dari kejauhan terlihat Forbidden City atau yang dikenal kota terlarang.
Bagian gerbang, terpasang foto besar Mao Zedong sedang menghadap Tiananmen. Dan
Forbidden menjadi plesiran yang tidak bisa ditinggalkan. Inilah kekuatan besar
sejarah kerajaan China.
Ribuan orang
sudah mengantri untuk masuk ke kota terlarang itu. “Ingat, jangan sampai lupa
bendera yang saya pegang ini. Jika kesasar, amati bendera dari kejauhan. Jangan
salah,” ujar Vivian mengingatkan.
Forbidden City merupakan rumah untuk 24 Kaisar zaman
Dinasti Ming dan Dinasti Qing, sebagai
Dinasti terakhir dalam sejarah Kekaisaran Cina. Istana ini kemudian
dikembangkan pada tahun ke-4 Kaisar Yongie dari Dinasti Ming(1406) dan berakhir
pada tahun 1420.
Forbidden City memunyai luas area sekira 72 hektar dengan
luas bangunan keseluruhan sekitar 150.000 meter persegi dan terdiri dari 90
istana dan halaman, 980 gedung dan 8704 kamar.
Pintu masuk utama yang saya lalui untuk masuk ke istana,
adalah Meridian Gate. Ini merupakan tempat kaisar mengumumkan kalender lunar
baru pada musim dingin. Saya terus melangkah, ternyata ribuan orang sudah
berada di dalam kawasan istana. Banyak kamar-kamar dan ruangan khusus bagi para
raja. Seperti, Hall of Central Harmony adalah tempat Kaisar beristirahat
sebelum memimpin acara besar yang di selenggarakan di Hall of Supreme Harmony.
Tempat yang begitu luas. Dinasti membangun tiga bangunan
utama dan juga 6 Istana Timur dan 6 Istana barat yang digunakan kaisar sebagai
tempat kerja dan rumah bagi kaisar dengan para Selirnya.
Dan pintu terakhir atau pintu keluar utama, adalah Gate of
Divine Might yang berada di belakang Imperial Garden. Untuk keamanan, The
Forbbiden City, ditutup dengan 10 meter tembok kota yang tinggi yang memiliki
sekitar 3.430 meter. Di setiap sudut The Forbibiden City berdiri sebuah menara
megah pada era dinasti dulu, dijaga sangat ketat dari masyarakat luar.
China tak hanya
terkenal dari sisi patriotisme dan budaya yang di jaga oleh masyarakatnya.
Negeri Panda ini juga menyatakan dirinya sekokoh Great Wall atau tembok
raksasa. Tempat yang berada sekitar 70
km ke arah barat laut dari Kota Beijing.
Rasanya,
benar-benar tak lengkap ke China tidak mendatangi bangunan tembok sepanjang
6700 km dari Teluk Bohai di timur Beijing sampai Jiayuguan Pass di Propinsi
Gansu, China bagian tengah mulai tahun 700 SM pada jaman Dinasti Zhou. Jarak
dari Teluk Bohai ke Jiayuguan Pass sendiri, sekitar 3000 km tapi Great Wall
punya panjang lebih dari dua kalinya jarak tersebut. Karena dibangun tidak
dalam garis lurus.
Saya hanya
mampu mendaki tembok itu pada satu bentangan menara. Ada yang menarik dari
tempat itu, puluhan meter kunci tergantung di sisi kanan tembok. Beraneka macam
model kunci, dengan mencantumkan nama pemiliknya. Konon, agar hidup mereka
menjadi baik dan usahanya tak tergoyahkan atau sekokoh tembok Great Wall itu.
Dari semua kekaguman
negeri itu, ada hal yang membuat saya trenyuh. Tak banyak negera yang
menjadikan orang tua layaknya seorang raja dan ratu oleh anaknya. Dalam kondisi
apapun, orang tua mendapat perhatian khusus. Terlihat anak mendampingi orang
tua yang sudah renta, hanya sekedar untuk bercerita. Bahkan tak sedikit anak
yang memapah orang tua, untuk menikmati suasana kota.
Dari tembok
China itu juga, saya melihat bagaimana seorang anak berusaha menuntun ibunya
yang berupaya menaiki setapak demi langkah untuk menuju menara. Memakaikan baju
hangat, dan menuangkan air minum. Wajah anak terlihat sabar, saat menemani
orang tua istirahat sejenak. Situasi itu, hampir saya temukan di seluruh Kota
Beijing.
Mungkin saking
patriotisme, kekuatan budaya, dan mencintai para leluhurnya, tak banyak orang
China yang menyukai budaya orang lain. Jangan harap bisa berbicara dalam bahasa
Inggris, memberikan secarik kertas berbahasa China dengan huruf latin saja,
kebanyakan tidak paham.
“Susah cari
orang China bisa bahasa Inggris. Jangankan masyarakat, polisi atau pejabat atau
mahasiswa, bisa hitungan orang yang mengerti. Lebih baik, siap-siap genggam
peta, dan jalan sendiri,” ujar Vivian.
Namun dari
semua kemegahan dan ketakjuban China, cara menjalankan ekonomi bagi orang asing
sangat kejam dilakukan. Padahal, para pedagang sudah tahu bahwa produk China
terkenal paling murah dan tidak memunyai jaminan kualitasnya. Itu bukan
masalah, bagi mereka dagang adalah meraup keuntuntungan. Soal kualitas, urusan
ke sekian kalinya.
Saya sempat
mendatangi pusat pembelanjaan Xidan. Di sini terdapat ratusan toko yang menjual
berbagai macam oleh-oleh. Dari aksesoris, pakaian, hingga elektronik. Namun
cara dagang mereka sangat tidak nyaman. Karena tanpa punya nyali menawar
serendah mungkin, maka bisa berakibat fatal, alias rugi besar.
Di salah satu
toko pakaian, saya sempat singah. Awalnya hanya sekedar melihat-lihat. Ketika
saya menanyakan harga, “Gila,” itu yang ada dalam pikiran saat itu. Kaos yang
dipasaran Indonesia sekira harga Rp60 ribu, di pedagang Xidang langsung kasih
harga 100 yuan atau setara Rp200 ribuan.
Saya langsung
berniat pergi. Tapi, langsung diperhadapkan dengan pemaksaan transaksi menawar.
“Howmuch,” tanya pedagang sambil menarik tangan. Saya sempat mengacuhkan.
Lagi-lagi pemaksaan dilakukan sambil menurunkan harga kaos itu.
“50 yuan. Oke,”
tanya perempuan pedagang itu. Saya abaikan. Dia kembali menarik tangan dan
menanyakan,” Howmuch? 40 yuan,” tanya lagi.
“No, 20 yuan.
Oke! You no, I no,” ujar saya. Pedagang itu, hanya menggeleng. Saya berniat
pergi, “Oke….20 yuan,” jawab pedagang dengan muka kecut.
Tak hanya
pakaian, ternyata semua toko menerapkan cara dagang yang sama. Tak ayal, dalam
rombongan kami, hampir semuanya bebelanja. Dari kaos, topi, hingga elektronik
dan telepon seluler.
“Ipad Cuma 800
yuan (setara Rp1.6 juta),” ujar Syaiful
dengan bangganya. Ia juga membeli telepon seluler bermerk Iphone.
Dua produk ini
berlogo Apple. Memang mirip casingnya dengan yang asli. Bahkan tak ada cacat
sama sekali. Namun saya tersenyum, open source piranti itu adalah Android.
Seingat saya, Apple memunyai piranti tersendiri yang berbeda dari lainnya.
Jika ingin mengunjungi
China, alangkah nyaman tidak menggunakan
pemandu wisata. Kita akan diberikan tempat-tempat nyaman selama di sana, tapi
prinsip ekonomi mereka, turis adalah bidikan untuk menguras uang. Kita akan
diajak mendatangi tempat kebugaran atau pusat kerajinan.
Padahal di
tempat kunjungan itu, turis akan dibuai untuk membeli produk yang harganya bisa
mencapai jutaan rupiah dengan kualitas yang belum tentu bagus. Saya sempat
merasakan situasi itu. Dari atas bis, Vivian mengatakan bahwa kita akan
mendapat layanan gratis refleksi. Wah! dalam pikiran saya, inilah yang paling
menyenangkan.
Lokasinya tak
jauh dari lapangan Beijing. Katanya, tempat refleksi ini biasa digunakan para
atlet saat Olimpiade Beijing. dalam ruangan besar, deretan bangku terlihat
nyaman untuk relaks. Kaki direndam dengan ramuan yang direndam. Baru beberapa
menit, puluhan dokter kebugaran mendatangi kami, jika ingin diperiksa kesehatannya.
Saya tertarik.
Oleh salah satu dokter itu, dibawa ke dalam ruangan terpisah. Di situ saya
diperiksa. Dokter itu didampingi seorang wanita sebagai penerjemah. Saya rebah
dan sang dokter mengerahkan tenaga dalam ke
bagian tubuh.
“Anda kena
sakit pada bagian lambung. Sehingga sering sakit pada bagian leher dan
pinggang,” ujar penerjemah. Dokter terus
bicara dengan bahasa China yang saya tidak pahami.
Dokter menulis
resep dan memberikan angka pada secarik kertas. Yang saya pahami, angka 2.000
yuan atau setara Rp4 jutaan. “Untuk kesehatan, resep ini bisa Anda beli seharga
2.000 yuan,” ujar penerjemah.
Dalam hati,
saya tertawa. Ternyata tak jauh beda dari pedagang-pedagang lainnya. Saya jelas
menolak membeli dengan alasan tak punya uang sebanyak itu. “Bisa pakai kredit,”
ujar penerjemah itu lagi. Tetap saja saya menolak. Terlihat muka dokter dan
penerjemah itu pucat. Dan menyuruh kami kembali ke ruangan refleksi.
Setiba di situ,
layanan refleksi lebih banyak menawarkan produk ramuan dibandingkan refleksi
yang kita ingin nikmati. “Wakakakaka….ujung-ujungnya dagang,” ujar Muhlis,
salah satu rombongan kami,
Musim semi di
Kota Beijing. Di akhir pekan pada musim semi, masyarakat China lebih memilih
berada di dalam rumah hingga musim dingin tiba. Sesekali keluar rumah, untuk
membeli kebutuhan makanan saja. Semakin memasuki Desember, udara semakin
dingin. Hari sudah siang, tapi masih terasa pagi sekali. Dingin kian menggigil.
0 Komentar