BANDARA Changi, Singapura, jam
14.00 waktu setempat. Cuaca mendung. Terminal bandara itu dari dalam pesawat,
biasa saja. Seperti kotakan korek api yang tidak mempunyai ciri khas negara.
Tak banyak pesawat yang parkir.
Berbeda dengan Bandara Soekarno
Hatta di Indonesia, mempunyai ciri khas Indonesia pada ornamen bangunannya.
Pesawat yang parkir tak terhitung jumlahnya, padat. Bahkan terlihat sibuk
jadwal penerbangannya.
Suasana dalam Bandara Changi juga
berbeda dengan yang di Jakarta. Changi bersih, berkarpet, tak banyak penumpang,
dan nyaman. Tak seperti Indonesia; padat penumpang dan semrawut.
Di terminal kedatangan bandara,
saya menunggu seorang yang mengabarkan akan menjemput. Tak ada orang dikenal.
Duduk menunggu sebentar, jenuh. Berjalan dari ujung satu terminal, balik lagi
ke ujung satunya lagi. Masih juga tak ada tanda-tanda orang yang akan
menjemput.
Telepon berdering. "Mati
aku," ujar saya dalam hati. Maklum, biaya roaming nomor Indonesia cukup besar. Saya nekat menerima
panggilan itu. "Pak maaf, saya tidak bisa menjemput. Lagi benar-benar
sibuk di venue," ujar
Talyta. Saya hanya mengiyakan. Telepon segera saya matikan.
Talyta adalah seorang perempuan
yang bekerja di Event Organizer (EO)
Dyandra Convex, satu perusahaan grup Kompas Gramedia. Saya belum pernah bertemu
sosok Talyta. Dia yang mengatur keberangkatan dari Indonesia ke Singapura untuk
kegiatan Rumah Budaya Indonesia (RBI) 2013 yang diprogramkan Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan.
Uang di saku yang saya bawa dari
Indonesia hanya Sing$50 atau setara kisaran Rp470 ribu. "Mudah-mudahan
cukup sampai hotel," ujar saya dalam hati. Waswas.
Saya menuju tempat menunggu
khusus taksi. Seorang petugas perempuan setengah tua, berbadan gemuk, dengan
mengenakan pakaian hitam-hitam memanggil taksi. "Hotel Bugis," ujar
saya. Sopir taksi bingung. Dia minta diperlihatkan tulisannya, saya menyerahkan
voucer hotel. Ternyata saya
yang salah, dalam voucer itu
tertulis Fragrance Hotel di kawasan Bugis. Persisnya di Middle Rd Street.
Selama perjalanan, 10 menit
sekali saya mengintip argometer taksi. Berharap sopir taksi tidak menipunya.
Seperti kebanyakan sopir taksi di Jakarta, jika penumpang orang asing, maka
diputar-putar tidak karuan agar ongkos taksi membengkak.
"Ini hotelnya," ujar
sppir menunjuk hotel yang tertera dalam voucer.
Tertera di-display argo taksi
Sing$18.90. "Akhirnya cukup juga." Lega setelah membayar.
Saya berdiri di pinggir jalan.
Memastikan nama hotel. Terdiam. Hotel itu seperti rumah toko alias ruko.
Berdiri di deretan ruko lainnya. Saya masuk dan menyerahkan voucer kepada resepsionis. Kemudian
diberikan kunci kartu bernomor 504.
Begitu membuka pintu kamar. Alamak! Kaget. Kamarnya tidak lebih
besar dari gudang rumah saya di Jakarta, sekira 2,5x3 meter. Kamar mandi di
dalam, televisi gantung di tembok. Tapi begitu masuk, cukup menyenangkan.
Disiapkan teko pemanas air dengan kopi dan gulanya dan difasilitasi air panas
untuk mandi.
Menelusuri Jalan
Middle Rd, Singapura. Masih saja
gerimis. Ingin sekali melepas kejenuhan, setelah beberapa jam beristirahat
dalam kamar yang sempit. Bingung. Tidak tahu kemana sore itu. Uang hanya sisa
Sing$21,5. Dari kabar seorang teman, uang segitu hanya bisa buat beli minuman
dan mi instan.
Lipatan selembar peta Singapura
saya buka. Mencari hotel dari peta, menelusuri setiap blok dan memerhatikan
setiap titik keramaian. Saya mencari gambar singa yang menyemburkan air dari
mulutnya. Rasanya tidak afdol jika tidak bertandang ke tempat itu. Ketemu.
Tertulis di peta Merlion Park. Jika dilihat dari peta, nampaknya tidak terlalu
jauh. Hanya tiga blok yang harus dilewati.
Singapura, adalah negara yang
berhadapan langsung dengan Indonesia di wilayah Batam sana. Dari banyak cerita,
negara ini serba mahal makanannya. Tak hanya itu saja, larangan soal merokok
juga begitu ketat. Untuk merokok, ada tempat yang sudah disediakan negara itu.
Jika dilanggar, dendanya cukup mahal dan bisa masuk penjara.
Di sebelah hotel, ada toko
7Eleven yang berukuran sekira 4x7 meter saja. Tapi dagangannya cukup lengkap.
Dari makanan kecil, minuman, roti, rokok, bahkan menjual pulsa telepon seluler.
Tidak seperti di Indonesia, toko ini biasa dijadikan anak-anak
"nongkrong". Di Singapura, justru kebalikannya.
Saya membeli rokok produk
Indonesia. Alamak! Harganya
Sing$11,5 alias setara Rp100 ribuan. Lebih mengerikan lagi, bungkus rokoknya
tercetak gambar leher manusia dengan luka mengangga. Pesan yang ingin
disampaikan yaitu dampak dari merokok yakni terkena kanker.
Blok pertama, melewati Purvis
Street. Di sini terdapat warung kopi yang kebanyakan dikunjungi orang-orang
berusia tua. Kursi dan mejanya di luar. Tak ada yang merokok. Di tembok luar
warung terpasang gambar dilarang merokok. Singapura punya peraturan ketat soal
merokok.
Saya terus melangkah. Walau
gerimis, bukan jadi masalah. Melintas Seah Street dan Bras Basah RD. Di antara
jalan ini, ada hotel cukup unik dengan arsitektur Belanda, Hotel Raffles.
Pelayan hotelnya berwajah orang kulit hitam dengan berpakaian persis zaman
penjajahan penjajahan. Saya menduga, orang India. "Kayak budak kompeni,”
itu yang ada dalam benak saya. Kompeni istilah untuk tentara Belanda saat
menjajah Indonesia.
Di ujung Jalan Beach RD, saya
belok kanan dan menelusuri Jalan Stamford RD. Dari kejauhan terlihat keramaian.
Ternyata di sana pusat belanja dan makanan, Headquarters. Di depannya,
sekerumunan orang sedang asyik mengembuskan rokoknya. Saya singgah. Di sinilah
rokok pertama saya embuskan di Singapura.
Dari tempat bebas rokok tadi,
sesekali saya intip harga makanan di restoran cepat saji, McDonald yang
jaraknya hanya beberapa langkah. Harga makanan termurah Sing$3,5. Sambil
mengingat sisa uang di saku Sing$10, saya putuskan untuk tidak membeli. Saya
menenggak minuman botol gratisan dari hotel yang diselipkan di pinggir tas.
Gerimis belum juga berakhir.
Menjelang malam, saya melewati North Bridge RD ke arah hotel. Berhenti sejenak
dan merokok lagi di kawasan bebas rokok. Tiba-tiba Talyta mengirimkan pesan,
dia tidak bisa menemui saya malam itu. Usai membacanya, saya mengembuskan asap
rokok terakhir dan mematikan di tempat sampah yang bagian atasnya dirancang
seperti asbak.
Setiba di hotel, hujan deras.
Sambil memikirkan makan malam yang bisa saya lahap dengan uang pas-pasan, saya
masuk ke toko 7Eleven. Hanya dua bungkus mi instan dan roti, serta minuman
kedelai yang bisa saya beli dengan menghabiskan Sing$7 atau setara Rp60 ribuan.
Inilah sarapan pertama di Singapura.
0 Komentar