Jangan Bersedih, Ramang.














Patung berwajah seorang pria yang sedang membawa bola, telah runtuh dari penyanggah prasasti. Tak ada lagi patung itu, yang dulunya berdiri di pintu utara bagian depan lapangan Karebosi, Makassar, Sulawesi Selatan. Memang hanya sebuah patung. Namun, sosok itu adalah Ramang. Sang legendalis sepak bola Indonesia era 50 sampai 60-an.
Kini ia memang sudah tiada. Tubuhnya terkulai di Pemakaman Panaikang, Makassar. Namun, ia punya kenangan luar biasa bagi bentangan sejarah sepakbola Indonesia. Ia bahkan menjadi sosok yang paling ditakuti dan menjadi ikon keemasan sepak bola Indonesia yang pernah dijuluki ‘Macan Asia’.

“Sejarah sepakbola negeri ini (Indonesia) pernah mencatat sosoknya. Sang ‘raja’ gol yang ditakuti semua lawannya di dunia. Namun ternyata, sejarah juga yang mencoba untuk melupakannya,” tutur Anwar Ramang, anak kedua Ramang.
Ramang. Tak pernah ada yang tahu, kapan pastinya ia dilahirkan. Tak ada catatan penting bayi Ramang. Yang teringat, ia dilahirkan di Barru, Sulawesi Selatan tahun 1928. Ayahnya bernama Nyo’lo, jagoan sepakraga yang sehari-hari menjadi ajudan raja Gowa Djondjong Karaenta Lemamparang.
Ramang kecil sudah gemar bermain bola. Kali pertama ia bergabung dalam tim sepakbola kota kelahirannya, Bond Barru. Namun menjelang proklamasi kemerdekaan RI tahun 1945, bersama istrinya, Sarinah, ia pindah ke Makassar dengan meninggalkan usaha warung kopi. Tapi surut dengan kegemarannya, bermain bola.
Namun gara-gara bola juga, kondisi ekonominya morat-marit. Untuk menghidupi keluarganya, Ramang menyambi hidupnya menjadi seorang kenek truk, hingga menjadi tukang becak.
Pada tahun 1947, melalui sebuah klub bernama Persis (Persatuan Sepakbola Induk Sulawesi) ia ikut kompetisi di Kota Makassar. Pada sebuah pertandingan, ia mencetak enam gol dan membuat klubnya menang 9-0. Sejak penampilan hebat itulah, ia akhirnya direkrut PSM yang waktu itu bernama Makassar Voetbal Bond (MVB).
Setelah itu, Ramang bukan sekedar menjadi pemain PSM. Kehebatannya mencetak gol dari segala posisi, PSM kerap menjuarai kompetesi perserikatan. Tak ayal, PSM akhirnya lebih dikenal dengan julukan "Pasukan Ramang".
Pada tahun 1952, PSSI terpicut. Tak pernah dibayangkan bergabung dengan PSSI. Ramang dijadikan andalan sebagai penyerang. Dan sejak itulah, ia kerap keliling Indonesia dan keliling dunia. Tahun 1954, ia bertanding ke negara Asia. Di laga itu, dari 25 gol yang dicetak tim Indonesia, 19 gol disarangi Ramang.
Sejak itulah, sepakbola Indonesia makin diperhitungkan di kancah Internasional. Tak hanya Asia yang pernah ditaklukkan, Yugoslavia yang gawangnya dijaga Beara (salah satu kiper terbaik dunia waktu itu), klub Stade de Reims dengan si kaki emas Raymond Kopa.
Tak sia-sia menyematkan ’Macan Asia’, bayangkan saja, PSSI juga mampu menundukkan kesebelasan Rusia dengan kiper top dunia Lev Yashin, klub Locomotive dengan penembak maut Bubukin, sampai Grasshoppers dengan Roger Vollentein. Dan Ramang, selalu mendapat pengawalan ketat agar tidak lolos ke jantung pertahanan lawan.
Sayangnya, karier Ramang tak panjang. Tahun 1960, ia diskorsing karena dituduh menerima suap. Tahun 1962 dipanggil kembali untuk memperkuat PSM. Namun pamor dan karier cemerlang, sudah mulai runtuh. Pada usia 40 tahun, ia mengakhiri karirnya usai PSM menelan kekalahan dari klub Medan, Sumatera Utara.
Ramang akhirnya kerap menjadi pelatih sepakbola. Bupati Blitar, meminta Ramang menjadi pelatih sepakbola. Ia juga tercatat melatih di PSM dan Persipal Palu. Di Palu, ia dihadiahi satu hektar kebun cengkeh oleh masyarakat Donggala, Palu, karena prestasinya membawa Persipal menjadi satu tim yang disegani di Indonesia.
Waktu berkata lain, perlahan-lahan kepamorannya disingkirkan dengan alasan Ramang tidak memiliki selembar ijazah kepelatihan. Padahal selama ini, Ramang hanya memadukan pengalaman dan sedikit teori yang pernah ia dapatkan dari Tony Pogacknis, mantan pelatihnya di PSSI.
***
Suatu malam di tahun 1981, sehabis melatih anak-anak PSM dengan jabatan sebagai asisten pelatih, Ramang pulang dengan pakaian basah dan membuatnya sakit. Enam tahun ia menderita sakit di bagian paru-parunya. Hidupnya surut dan tidak setangguh kejayaannya, ia terkurai lemah tanpa pengobatan ke rumah sakit karena kekurangan biaya.
Pada tanggal 26 September 1987, di usia 59 tahun, sakit paru-paru yang dideranya tak juga pulih. Indonesia berduka. Seorang legendalis sepak bola yang pernah menjayakan dan menjadikan sepak bola Indonesia sebagai ‘Macan Asia’ hingga mancanegara ini, meninggal dunia di rumah sederhana di Jalan Andi Mappanyuki, Makassar, Sulawesi Selatan.
Ramang meninggalkan istri, Hj, Sarinah dan tujuh anaknya; Rauf Ramang, Ratna Ramang, Anwar Ramang, Arsyad Ramang, dan tiga anak lainnya yang sudah meninggal dunia. Tahun 1995, istrinya meninggal dunia. Jasadnya dimakamkan satu lubang kuburan dengan Ramang di pemakaman Panaikang, Makassar.
“Bapak (Ramang) pemain sepak bola yang tangguh. Hingga saat ini belum ada yang bisa menyamai kehebatannya. Sangat sulit. Sekarang semua pemain sepak bola berpikir uang. Beda dengan dulu. Ramang dan angkatannya berpikir mengharumkan nama bangsa dengan nasionalisme yang tinggi,” kenang Anwar Ramang. Anak keduanya yang kini berusia 56 tahun.
Kalau dibandingkan dengan pemain sekarang. Ramang memang belum ada duanya. Menurut Anwar Ramang, kegigihan bapaknya (Ramang,red) menjadi pemain yang handal karena dijiwai rasa harga dan kehormatan untuk bisa membanggakan sepak bola Indonesia.
“Dengan tekad kehormatan itulah, makanya bapak (Ramang, red) tidak pernah ada kata istilah menyerah. Tidak pandang siapa lawannya. Yang ada dalam pikirannya, memasukkan bola ke gawang dan membuat malu lawan-lawannya,” kenang Anwar.
Anwar Ramang hingga kini masih meneruskan nama besar ayahnya di jagad sepak bola. Ia menjadi analis pemain untuk klub PSM Makassar. Baginya, Ramang tidak hanya sekedar orang tua, tapi pelatih yang dibanggakan. Ramang adalah sosok pesepakbola yang sangat disegani di Indonesia, Asia, bahkan dunia pada masanya.
Dirinya kagum melihat ayahnya yang selalu mampu mengecoh lawan. “Kalau sudah menyerang, pantang untuk mundur kembali. Kalau serang, serang terus. Saya pernah menyaksikan, bola sudah masuk gawang, kipernya baru ambil posisi siap. Dari semua lini, kalau bola sudah di kakinya, sudah pasti bikin gol. Entah dengan tendangan andalannya, salto atau tendangan kerasnya,” tutur Anwar.
Kisah tentang sosok Ramang juga dituturkan Syamsuddin Umar, mantan murid Ramang di PSM era 70-an. Ia menilai Ramang sebagai pelatih yang lebih banyak mengajarkan karakter dan penguatan mental bagi muridnya. Ramang adalah pelatih yang lebih banyak memperlihatkan contoh dibandingkan hanya sekedar teori.
“Ketika Ramang memberikan contoh tehnik atau trik meloloskan diri dari lawan atau bagaimana membuat tendangan mematikan, semua muridnya hanya duduk sambil memperhatikan gayanya. Itulah, yang membuat kami lebih banyak memahami cara dan bukan sekedar teori saja,” tutur Syamsuddin.
Selama di bawah asuhan Ramang, Syamsuddin memahami betapa pentingnya kedisiplinan. Murid asuhannya, diajarkan tentang harga diri, pembentukan karakter hingga nilai-nilai kehormatan menjadi seorang pemain sepak bola. “Contohnya, kita tidak diperbolehkan menyimpan kostum kesebelasan di sembarang tempat. Dia selalu sampaikan, hargai kostum itu di tempat yang selayaknya,” kenang Syamsuddin.
“Bahkan, dari soal turun bis saja, selalu Ramang dulu yang turun, baru pemain menyusulnya. Tapi ketika kita tanyakan, dia (Ramang) tidak pernah ingin menjelaskan. Semua itu, kita anggap sebagai bentuk kedisplinan yang diajarkan pelatih kepada anak asuhnya,” kenang Syamsuddin.
Syamsuddin merasa tak sia-sia selama menjadi anak didik Ramang. Dari pembentukan karakternya, dirinya mampu menjadi pemain sepak bola professional. Didikan Ramang, tahun 1976 sudah bergabung di Timnas Junior. Ia juga menjadi pelatih dibeberapa klub sepak bola negeri ini; Makassar Utama, PSM dan Timnas U-20.
Tahun 2000, membawa PSM sebagai juara Piala Pardede, LBM VI, Juara Piala Ho Chi Ming City dan masuk 8 besar Liga Champion Asia. Syamsuddin juga pernah melatih klub Persitara Tangerang. “Saya akui, saya besar di kancah sepak bola, karena jasa didiknya Ramang,” tutur pria kelahiran 10 Nopember 1955 di Makassar ini.
Sejarah memang masih pantas untuk mencatatnya. Ramang memang tak pernah putus dirudung sejarah pada eranya. Sekira April 2010, Badan Perpustakaan dan Arsip Sulsel menemukan sebuah rekaman video pertandingan PSM melawan Persija pada final kompetisi perserikatan 1964/1965. PSM memetik kemenangan 2-0 mengandaskan tim Macan Kemayoran itu.
Dari rekaman berdurasi satu jam setengah tersebut, menampilkan sosok Ramang sang legendalis itu. Rekaman tersebut terlihat, Sri Sultan Hamengkubuwono IX menyaksikan pertandingan. Hadir juga Menteri Pemuda dan Olahraga, Maladi yang menyerahkan piala kepada Ramang.
Kini, Ramang memang sudah tiada. Kisah hidup mantan bintang sepak bola Indonesia ini, terus tergiang hingga saat ini. Ia tetap seorang legendaris, tetapi ia sudah keukeh untuk menutup kisah masa lampaunya itu. “Buat apa mengenang masa-masa seperti itu, sementara orang lebih menghargai kuda pacuan?” sindiran maut Ramang semasa hidup.
Reactions

Posting Komentar

0 Komentar

Close Menu