KP Sulistyo Tirtokusumo



Seorang lelaki berbadan rada tegap memasang cangkang ke sebatang rokok yang terapit di jemarinya. Kemudian disulut oleh korek gas dan dihembuskan asapnya. Seakan saat itu, menjadi waktu yang paling nikmat. Hanya beberapa detik saja, dikemut cangkang rokok dan dihembuskan lagi asapnya ke langit-langit dengan hembusan lembut dari mulutnya.

“Tersiksa juga nih, kalau tidak merokok. Apalagi dalam ruangan yang tidak boleh merokok sambil mendengar diskusi,” ujar lelaki itu sambil tertawa, dengan rokok yang siap dihisap kembali. Lega.

Ia adalah KP Sulistyo Tirtokusumo, kelahiran Solo, 6 Juli 1953. Nama depan KP yang disematkannya, kependekan dari Kanjeng Pangeran yang diberikan oleh Sri Susuhunan Pakubuwono XIII pada 28 Juli 2008 di Solo. Alasannya, Tirto yang dilahirkan di Kota Solo, dianggap telah melestarikan nilai-nilai kebudayaan leluhurnya.

Berkesenian bukan hal baru lagi baginya. Tirto anak ke tujuh dari sepuluh bersaudara ini, dilahirkan dari keluarga yang diwajibkan mampu berkesenian sejak kelas dua Sekolah Dasar. Untuk anak lelaki, bisa menari dan pencak silat. Dan untuk yang perempuan mampu menari dan bersolek.

Dari berkesenian dalam rumah, ia mulai merambah ke atas panggung. Pada tahun 1968 saat masih duduk di kelas 2 Sekolah Menengah Atas (SMA), akan berlangsung Sendratari Prambanan di Candi Prambanan Jawa Tengah. Perhelatan ini diadakan setiap malam bulan purnama. Namun, yang biasa memerankan tokoh Rama, sedang terjadi kekosongan.

Tirto ikut audisi sebagai wakil dari Pawiyatan Kabudayaan Kraton Surakarta, Solo. Peserta banyak sekali, karena sekaligus untuk mengikuti Festival Ramayana Nasional di Pandaan, Jawa Timur. Ia akhirnya terpilih sebagai tokoh Rama mewakili daerah kelahirannya. .

Saat dipertandingkan, Sulistyo gugup. Gelisah. Dadanya berdetak kencang. Karena, dari beberapa kontingen daerah lain, ia pemain yang usianya masih muda dan belum punya pengalaman. “Bahkan ingin rasanya saya kabur saat pementasan akan berlangsung. Padahal saat itu, sudah pada posisi di pinggir panggung,” ujar anak pasangan RMT Tirtokusumo dan R.Ay. Tirtokusumo.
“Guru pembimbing seni megangin tangan saya, agar tidak lari dan ketakutan. Mereka akhirnya memberikan nasehat agar saya tidak takut di panggung,” ujar Sulistyo.

Itulah kenangan terakhir masa-masa sekolah dan peran pertamanya menjadi sosok Rama. Setamat SMA, Sulistyo pindah ke Jakarta. Lulus SMA ke Jakarta. Ia ketemu Sardono W. Kusumo, Retno Maruti, dan Setot.

Kemudian, ia bergabung dengan ‘Jaya Budaya’ di Taman Ismail Marzuki (TIM). Pun pada tahun 1971, bergabung dengan grupnya Patnessuara pimpinan retno Maruti. Saat itu juga, mulai menjadi penari di Istana Negara era Presiden Soeharto. Tak tanggung-tanggung, masa-masa di Istana berakhir hingga tahun 2001.

“Setiap menari, saya tetap menjadi sebagai sosok Rama. Biasanya setiap ada tamu kehormatan di Istana. Sedangkan setiap bulan berlangsung di Taman Mini (TMII). Mentas setiap bulan,Dan Soeharto sangat menyukai tarian itu. Sepertinya, sosok Rama menjadi simbolisasi Soeharto yang melekat pada karakter Rama,” ujarnya.

“Soeharto senang dengan lakon Rama,” tanya saya.

“Soeharto tidak pernah meminta langsung untuk menari Rama dan ia sangat menyukainya. Dikit-dikit cerita Rama. Dan kalau ada tamu lainnya pun, selalu tarian Rama,” ujar Sulistyo.

Sulistyo mulai berkarya menjadi koreografer sejak tahun 1976. Karya terakhir yang dibuat tahun 1998 berjudul ‘Nyai Sembako’. Ini adalah cerita sindiran atas kondisi politik saat itu, ketika pemerintahan Soeharto sedang goyah dan reformasi memang sudah seharusnya terjadi.

Sulistyo mengamati, kekuatan atas kekuasaan pemerintahan Orde Baru sudah tidak bisa dipertahankan lagi. Apalagi, saat itu sudah banyak kekacauan dan sistem politik menutup rapat. “Orang yang pernah saya kagumi, sudah mulai rapuh,” ujarnya.

“Kisah Nyai Sembako atau sembilan bahan pokok itu, adalah tumpahan hati nurani terhadap pemerintahan Soeharto. Saya tumpahkan perasaan kegelisahan dengan membuat kesenian,” ujar Sulistyo.

Pentas kali pertama karya ‘Nyai Sembako’ berlangsung pada 21 Februari 1998. Dan menariknya, ujar Sulistyo, hanya berselang tiga bulan kemudian Soeharto lengser, persisnya 21 Mei 1998.

Waktu ke waktu, Sulistyo sempat menari kembali sebagai Rama di hadapan Presiden Soeharto pada 20 April 1998 di Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Lagi-lagi sebagai Ramayana. Namun dalam diri Sulistyo, ia menjiwai sebagai sosok Rama Pratama, tokoh demontrasi Universitas Indonesia saat itu yang sedang gencar berunjuk rasa.

“Soeharto saat itu, tidak terlalu tersenyum dan terlihat segar lagi. Apalagi saat itu, situasi negara sedang tidak stabil,” ujarnya.

Sejak berkiprah menjadi koreografer, ia sudah membuat 10 karya. Karya yang paling berkesan dan kerap dipertunjukkan hingga ke luar negeri adalah berjudul ‘Panji Sepuh’ yang dibuat tahun 1993. Kisahnya, lagi-lagi soal kesepuhan pemimpin yang sudah harus berkaca mengayomi masyarakatnya.

Kisah ‘Nyai Sepuh’ laku dipertunjukkan di berbagai daerah di Indonesia bahkan sempat menjelajah ke Australia. Terakhir dipentaskan pada 8 Desember 2006 di Museum Nasional Singapura dan itu pementasan yang ke 30 kali. Pementasan ini bersama dengan Gunawan Muhammad yang menggarap lirik dan menjadi sutradaranya.

Akhir-akhir ini, ia sedang sibuk melatih penari-penari yang akan membawakan Tari Bedhoyo Durodasih yang akan dipentaskan pada 28 Desember 2008 di Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Tarian ini dimainkan oleh sembilan penari perempuan sebagai simbol untuk mengontrol keinginan atau hasrat manusia.
Reactions

Posting Komentar

0 Komentar

Close Menu