Melukis Seumur Hidup

 indonesia art and culture: April 2011

Satu ruangan di Balai Budaya, Jakarta, terlihat bertumpuk puluhan lukisan. Sebagian kecil yang tergantung di dinding dan lainnya tertumpuk miring di tembok. Di situ juga, ada penyangah untuk melukis. Tampak sudah lama tidak ditempati lagi, karena banyak barang tak beraturan dan berdebu.

 “Sudah beberapa tahun ini, saya tidak lagi melukis di tempat ini. Hanya sesekali saja. Lebih banyak melukis di rumah,” tutur seorang lelaki bertopi. 

Lelaki itu adalah Abas, bernama lengkap Alibasyah Natapriyatna. Sudah tak asing lagi di jagat seni rupa Indonesia. Pria kelahiran Dusun Cigalugur, Purwakarta 1 Maret 1928, sudah pantas menyematkan maestro, karena sederat anugerah sudah pernah disandangnya.

Abas pernah memeroleh Anugerah Seni oleh Pemerintah Indonesia era Presiden Soeharto tahun 1985, Cultural Award Scheme dari Pemerintah Australia tahun 1970, penghargaan Lempad Prize dari Yayasan Lempad Bali, dan tak banyak sosok seniman yang memeroleh Satya Lencana Karya Satya tahun 1990.

Malam itu pada pertengahan Agustus, Abas nampak terlihat segar. Tas hitam kecil berselempang, dikepit oleh tubuhnya. Jalannya tak tampak lemah, walau usianya saat ini sudah menggapai 80 tahun. Ia tampak sehat dan senang sekali bercerita tentang masanya sendiri.

“Kuncinya jaga kesehatan. Dan sudah lama tidak merokok dan minuman alkohol lagi. Lagian sudah tua. Buktinya, tanpa merokok dan minum (alkohol) tetap bisa melukis,” tutur Abas.

Kondisi fisiknya yang cukup mengganggu adalah bagian matanya. Ia mengenakan kaca mata baca yang harus terus dikenakan. Kata Abas, kerap matanya berair jika tidak mengenakan.

“Tapi tidak berpengaruh untuk tidak melukis,” ujarnya. Selain melakoni hidup dari melukis, kini Abas juga sibuk mengelola Balai Budaya yang terletak di Jalan Gereja Theresia, Jakarta.

Cukup melelahkan baginya, namun ia tetap semangat. Jika ada perhelatan di Balai Budaya, Abas harus meluncur dari rumahnya di kawasan Cilandak, Jakarta Selatan.

Lukisan terakhir buatannya pada bulan Juli 2008, belum lama dikirim ke seorang kolektor asal Brussel, Belgia. Soal harga lukisannya itu, Abas tertawa. “Soal harga itu rahasia dong. Itu menyangkut perusahaan,” ujarnya.

Lukisannya kini sudah banyak merambah dan dikoleksi oleh banyak kalangan. Salah satu kolektornya adalah vokalis Rolling Stone, Mick Jagger yang kini menyimpan lukisannya yang bertajuk ‘Tiga Wajah”.

Sedangkan kolektor yang banyak menyimpan delapan lukisannya, adalah Imelda Marcos, mantan Presiden Filipina.

Abas dilahirkan dari keluarga mapan. Ibunya bernama Nyi Mas Suhaemi dan ayahnya Hoesen Adimihardja, pegawai negeri pada Jawatan Pengairan. Anak bungsu dari empat bersaudara ini, lebih banyak menghabiskan waktunya di Kota Bandung Jawa Barat.

Melukis digelutinya sejak berusia 12 tahun. Di Bandung, ia mengenal pelukis Barli Sasmitawinata yang usianya terpaut dua tahun lebih tua dari dirinya.

Abas sempat melihat hasil lukisannya Barli, yang senang membuat lukisan diri. Dengan kertas bergambar dan pensil, Abas melakukan hal yang sama, melukis diri sendiri dengan judul “Potret Diri”.

Tahun 1947, Abas sudah bergabung dengan Tentara Pelajar di bawah Divisi Siliwangi. Ia terpaksa hijrah ke Yogyakarta, karena menjadi ibu kota negara saat itu. Bertiga dengan teman seperjuangannya, ia tempuh Bandung hingga Yogyakarta, sebulan lamanya dengan berjalan kaki.

Setiba di Yogyakarta, ia bertemu kembali dengan Hendra Gunawan dan Affandi dan akhirnya berkumpul di sanggar Pelukis Rakyat. Keduanya sudah sering bertemu di Bandung. Dan keduanya juga, yang memberikan spirit pengaruh terhadap karya Abas.

Affandi baginya, sosok yang mengugah kepeloporannya dan Hendra merupakan sosok yang menggugah karya seni rupanya. “Selain Hendra dan Affandi, sosok yang banyak memberikan ilmu sejarah seni rupa dunia adalah Katamsi, Direktur pertama Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta,” ujar Abas.

Lukisan karyanya tak seperti masa sekarang yang serba dihargai dengan uang. Dulu, cerita dia, lukisannya banyak diberikan kepada rekannya sebagai kado. Ada juga yang dibayar dengan hasil panen.

Namun yang membuat ia kaget, kini beberapa lukisannya justru sempat dilelang. “Mau bagaimana lagi, tapi saya tidak marah. Itu sudah menjadi hak orang yang pernah saya berikan,” tuturnya.

Di masa tuanya sekarang, Abas tetap saja terampil mengelus kuas di atas kanvasnya. Dia tetap santun dengan gelar maestro yang sekarang disematkannya. Ia Seakan ingin melukis seumur hidupnya, sambil menikmati masa tuanya.

 

Reactions

Posting Komentar

4 Komentar

Anonim mengatakan…
bang ajarin ngelukis dong bang
email saya ya...
Anonim mengatakan…
seneng bisa menerawang pelukisnya, lewat kata2. hehehe bikin blog kayak gini gimana man. ajarin.... ( iyan bekasi )
Rusman Manyu mengatakan…
Artis Bejat. Saya tidak melukis dan tidak pernah melukis. Saya hanya suka menikmati lukisannya. Karena, saya seorang wartawan. Tapi, terima kasih dengan commentnya.

Dan untuk Iyan, kawanku di Bekasi. Semoga sehat dan salam untuk kawan-kawan wartawan lainnya. Wah, jaman sekarang masa nggak bisa bikin blog sendiri sih iyan. Nah, aku saranin, ente bikin blog dan cobalah menulis dengan gaya hardnews atau feature deh. Kale aja ini bisa menjadi CV Anda.
Eko Rusdianto mengatakan…
Saya sering mendengar nama abang dari teman2 di PANTAU. Mohon kiranya sudih mampir ke bilikku.

Salam,
Eko Rusdianto
Close Menu