Menanti Obituari

Rumah di pinggir Jalan Katamso, Sragen, Jawa Tengah, terlihat sunyi. Pintu yang terbuat dari kayu setinggi 1.5 meter, tertutup rapat. Dari luar, rumah itu nampak sederhana. Seluruh dindingnya terbuat dari kayu, bagian atapnya masih dengan genting model lawas yang kerap bocor.

“Silahkan masuk ke gubuk saya,” sapa Sriniwoko Hendrasto, 42 tahun, penghuni rumah itu sambil membukakan pintu.

Remang-remang. Hanya ada satu lampu pijar 25 watt yang menggantung di satu pondasi bagian tengah. Dia mengambil lampu neon 10 watt dan digantungkan di pondasi satunya lagi. Terang. Hampir seluruh ruangan berukuran sekira 4 x 3 meter itu, ternyata ditumpuki peti mayat dua susun.

Tumpukan peti mati, berjajar empat baris. Baris pertama adalah dua tumpukan peti mati untuk jenazah yang beragama Islam, dan tiga deret lagi masing-masing dua tumpuk peti mati untuk jenazah beragama Nasrani. Modelnya memang beda-beda. Dari yang sudah terbungkus kain, sudah bercat putih, dan ada yang berwarna coklat kayu.

Barang-barang itu adalah barang dagangannya. “Dua peti yang harganya Rp5 juta sudah dipesan, tapi orangnya belum mati-mati juga. Makin cepat mati, makin cepat juga dapat duit,” ujar Titoet, nama panggilan Sriniwoko Hendrasto. Dia tertawa menyambung kalimat terakhir.

Di kartu nama yang ia sodorkan tertulis “Obituari (Berita Kematian) : menyediakan sarana kematian dengan corak dan model beragam”. Usaha membuat peti mati ini baru dilakoninya dua tahun terakhir. Sedangkan profesi yang sudah dikerjakan sejak lima tahun lalu adalah menjadi perias jenazah.

“Tadinya cuma perias mayat. Agar konsumen tidak kesulitan mendapatkan peti mati, pikir-pikir, sekalian saja saya jualan juga. Ini semua barang titipan orang yang membuatkannya,” ujar Titoet.

Profesi perias jenazah berawal ketika dirinya bekerja di pelayanan Gereja di Sragen, Jawa Tengah. Di tempat itu, dia mendapat gaji Rp600 ribu setiap bulannya. Dan setiap saat urusannya memandikan mayat melulu. Dia juga yang merias mayatnya agar terlihat lebih cantik dan gagah, bahkan bisa terlihat tersenyum.

Setelah setahun lamanya, ia memutuskan untuk membuka usaha sendiri di bidang yang sama, sambil tetap bergabung dengan pelayanan gereja. Bagi orang yang membutuhkan jasanya, setiap saat dan kapan pun, Titoet siap melayani. Tak hanya wilayah Sragen, Titoet pernah mendapat order merias jenazah di Pasuruan, Jawa Timur.

“Orang mati, kan nggak bisa ditentukan jamnya. Kadang ada orang yang butuh ketika tengah malam dan pasti kebingungan mendapatkan perias mayat. Akhirnya, saya berinisiatif untuk bekerja sendiri di bidang pelayanan jenazah ini.”

Suatu hari di tengah malam, telepon selulernya berdering. Seorang perempuan kenalannya menyampaikan kabar kematian suaminya akibat kecelakaan di Jawa Timur. Titoet langsung sibuk menyiapkan perlengkapannya, yakni bedak, kapas kosmetik, kain, dan perlengkapan kosmetik. Tak luput, dia juga membawa peti mati yang ditaruh di dalam mobil ambulans.

Tiba di rumah duka, baru diketahui Titoet bahwa tubuh jenazah bagian muka sudah rusak. Dia mengambil benang dan jarum dari kotak perlengkapannya. Agar tak nampak bekas lukanya, perlahan-lahan dia menjahit wajah mayat itu. Hasilnya sempurna. Dia langsung memolesinya dengan bedak dan bubuk khusus lainnya untuk menutupi bekas luka.

“Kalau masih bisa dijahit dan wajahnya dapat didandani, perias mayat harus memikirkan agar mayat itu terlihat tersenyum dan tidak memperlihatkan wajah sedih. Sehingga pada saat melayat, orang tidak ketakutan dan bertambah sedih.”

Jika kondisi mayat sudah rusak parah dan sangat tidak memungkinkan untuk didandani, dia angkat tangan alias menyerah. Jalan satu-satunya untuk menyiasati hal tersebut adalah dengan menutupi bagian yang rusak menggunakan kain dan hanya memperlihatkan bagian yang masih utuh. “Yang terpenting, keluarga tidak mudah sedih. Hanya itu yang selalu kita pikirkan,” tuturnya.

Yang paling mengerikan, cerita Titoet, saat mendapat orderan merias mayat dengan tubuh terbakar. Seluruh badannya sudah hitam menjadi arang. Titoet bingung. Dia kehabisan akal menyiasati kasus ini. Menyerah. Posisi jenazah hangus itu adalah meringkuk dengan tangan memeluk kakinya yang tertekuk. Walau Titoet sudah mengolesinya dengan minyak agar tubuh jenazah itu bisa diluruskan, hasilnya tetap nihil.

Tanpa pikir panjang lagi, Titoet membuatkan peti mati yang tak biasanya dia bawa. Mayat itu diangkatnya dan langsung dimasukkan dengan posisi tubuh tetap meringkuk. Seluruh bagian peti dipaku rapat. “Sebelumnya, sudah saya diskusikan dulu dengan keluarga korban. Itulah jalan terakhir, daripada pelayat ketakutan, langsung dikuburkan saja.”

Orderan yang dilakoninya, tak mengenal waktu. Telepon selulernya siap melayani tanpa mengenal tempat. Soal bayaran, dia mengatakan, sifatnya sukarela. Dia tidak mematok harga untuk jasanya alias saling pengertian saja. Jika dari keluarga tidak mampu, Titoet rela tidak mendapatkan uang. Khusus peti mati, dia memasang harga. Yang termurah seharga Rp500 ribu dan termahal Rp5 juta.

“Tapi, kalau pas dari keluarga tidak mampu yang menginginkan peti mati, biasanya saya siap buatkan peti mati yang sederhana saja. Ya…mungkin hanya kayu kualitas rendahan. Saya cuma siap membantu. Nggak harus patok harga.”

Sudah banyak catatan jenazah yang terdata dalam ingatannya. Sudah banyak rupa jenazah yang didandaninya. Jenazah perempuan dan laki-laki, dia tangani sendiri. Titoet juga, kini setiap saat menerima kabar kematian. Obiatuary yang berdering di telepon selulernya.

Reactions

Posting Komentar

0 Komentar

Close Menu